Tembok Baluwarti Penjaga Keraton Ngayogyakarta

Yogyakarta, chronosfusion.id – Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi Keraton yang masih ada dan berkembang sampai saat ini. Keraton mampu mengikuti perkembangan jaman dengan tetap mempertahankan budaya leluhur. Meskipun sudah banyak yang berubah, kita masih bisa melihat banyak bangunan yang bernilai sejarah. Salah satunya tembok pertahanan yang mengelilingi komplek Keraton.

Jika diurutkan dari luar, tembok pertama yang mengelilingi komplek Keraton bernama Baluwarti. Tembok ini melingkupi area kedhaton, tempat tinggal kerabat Sultan dan rumah-rumah Abdi Dalem. Kawasan di dalam Baluwarti juga disebut dengan Jeron Benteng. Kawasan Jeron Benteng saat ini adalah kawasan permukiman yang secara administratif merupakan wilayah Kecamatan Kraton. Tembok kedua adalah Cepuri, khusus melingkupi area kedhaton atau Keraton tempat tinggal Sultan dan keluarganya. Kawasan kecamatan Kraton ini merupakan kawasan cagar budaya, menurut keputusan Gubernur DIY No 186/KEP/2011 tanggal 15 Agustus 2011 tentang Penetapan Kawasan Cagar Budaya.

Tembok Baluwarti ini di desain oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dan mulai dibangun sekitar tahun 1755-1792. Seorang peneliti sejarah Asia Tenggara, Denys Lombard menyatakan bahwa Baluwarti merupakan kata serapan dari Bahasa Portugis. Kata benteng dalam Bahasa Portugis adalah Baluarte. Hipotesis ini diperkuat dengan fakta bahwa tembok Baluwarti dibangun bersamaan dengan pembangunan Tamansari yang dirancang oleh arsitek yang berasal dari Portugis. Pembangunan benteng dipimpin oleh R. Rangga Prawirasentika, Bupati Madiun, yang kemudian dilanjutkan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, yang di kemudian hari bertahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono II.

Desain benteng Keraton Yogyakarta berbeda dibanding benteng-benteng kerajaan Mataram Islam sebelumnya, terutama tampak pada gerbang-gerbangnya. Modelnya mirip dengan benteng-benteng Eropa, kemungkinan besar benteng keraton meniru sistem perbentengan Belanda di Batavia yang sempat diamati oleh patih kadipaten, Mas Tumenggung Wiroguno, selama kunjungannya ke sana pada awal 1780-an.

Bagikan:
See also  Sensasi Ramadan di Masjid Raya Sumbar, Keindahan Desain Lokal dengan Prestasi Global

Author: admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *